Minggu, 22 Juni 2008

Transformers


Jika film seperti sepotong roti, maka penonton yang cerdas bukan hanya memilih roti yang tidak hanya enak, melainkan juga bergizi tinggi dengan penuh kelengkapan aneka macam zat yang diperlukan oleh kesehatan tubuh. Bukan hanya sekadar sebagai junk food yang malah memenuhi usus besar dan menyebabkan berbagai penyakit. Yang terakhir ini biasanya tampak jelas pada film yang hanya mengandung unsur horor, kekerasan, ataupun penyiksaan, tanpa esensi yang jelas pada setiap plot yang tersaji.


Lalu, Transformer memenuhi komposisi yang manakah? Ah, tanpa perlu berekspektasi tinggi-tinggi, film ini saya kategorikan antara bergizi dan junk food. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, Steven Spielberg memegang peranan yang kuat atas film yang dibuat remake dari film pertamanya tahun 1980-an ini. Penonjolan yang kuat pada segi animasi dan visual yang memanjakan mata penonton ini memang terbilang fantastis. Bahkan tergolong realistis. Apalagi ketika tidak ada lagi batas yang tegas antara manusia dan animatif sehingga penonton merasakan sebuah kondisi imajiner yang melebur dengan begitu halusnya. Sayang, karena sisi ini yang terlalu ditonjolkan, pada akhirnya sisi yang amat penting dari film menjadi terlupakan. Apa pula itu? Plot cerita dan konflik yang belum tergarap maksimal. Bisa dimaklumi jika ternyata segmentasi yang hendak dibidik lebih pada anak-anak sehingga menafikan cerita yang dibuat enteng dan konflik datar. Namun, jangan lupa pula ternyata cerita di sini tidak benar-benar untuk anak-anak, ada pula sisi dewasanya.

Cerita berpusat pada komunitas robot jahat (Deception) yang dipimpin Megatron harus bertempur dengan robot baik (Autobots) yang dipimpin Optimus Prime karena hendak menguasai dunia manusia. Syaratnya, harus mendapatkan The Cube sebagai mediator pencipta kekuatan mereka. Masalahnya, The Cube ini ada di antara manusia dengan segudang kompleksitas masalahnya. Cerita ini simpel, tapi konflik yang ada terlalu penuh klimaks sehingga penonton merasa lelah. Bukan karena ceritanya yang bertele-tele, tetapi karena saking penuhnya pameran visualisasi kecanggihan robotik nan memukau. Jadinya, penonton tidak diberi kesempatan untuk sekadar mengagumi animasi visual yang makin mendekati realitas (bahkan tidak ada lagi batas di antara keduanya). Dari menit ke menit yang rapat, adegan selalu seru dan sayang untuk dilewatkan. Toh, film ini hanya sekadar menghibur. Kalau ingin cari amanat dan pesan tentang kehidupan yang hakiki? Anda berada pada jalur yang salah...

Tidak ada komentar: