Minggu, 22 Juni 2008

Eragon

Film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Christopher Paolini yang terjual lebih dari 30 juta eksemplar dan dialihbahasakan ke 32 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Novel keduanya berjudul Eldest yang juga sama larisnya, direncanakan akan difilmkan menyusul tahun depan.


Berkisah tentang bocah berusia 16 tahun, Eragon yang menemukan sebutir telur berwarna safir, biru berkilau. Awalnya ia mengira telur itu sebuah batu jimat milik Raja Galbatorix, hingga tanpa pikir panjang ia hendak menjual pada seorang penjual daging, yang menolak karena emoh berurusan dengan raja dan antek-anteknya.

Suatu malam, telur itu menetas dan muncullah seekor naga mungil yang berwarna safir. Eragon kaget, terlebih setelah didengarnya kisah dari sesepuh desa bernama Brom (nantinya akan menjadi pendamping perjalanannya menemui Varden) tentang legenda penunggang naga (dragon riders) yang pemberani dan penuh kekuatan.

Semakin lama, Eragon mengerti tentang posisinya sebagai sosok yang terpilih. Apalagi setelah pamannya meninggal oleh orang-orang suruhan Raja Galbatorix, penguasa Algaesia yang tidak menginginkan munculnya penunggang naga lagi. Bersama Saphira dan Brom ia memulai petualangannya menuju istana raja, melalui ngarai, padang pasir, lembah hijau, pegunungan es, hingga sungai. Di tengah perjalanan ia banyak menemui rintangan, mulai dari Urgal hingga kemampuannya yang memang belum seberapa.

Karena keras kepala, Eragon yang sempat bermimpi Arya ditawan oleh penyihir, akhirnya mengubah perjalanan. Ia membebaskan putri dari tawanan musuh dan melarikannya ke Varden untuk mencari bantuan.

Singkat cerita, penyihir yang tidak terima kemudian mengepung wilayah Varden dan tumpahlah pertarungan sengit. Di sini, Saphira nyaris tewas oleh monster kelelawar ilusi buatan penyihir. Sementara Eragon terkapar kelelahan. Ending cerita ditutup dengan perjalanan Eragon bersama Saphira serta Arya yang hendak melanjutkan petualangannya kembali. Menemui Raja Galbatorix.



Secara keseluruhan, film ini kurang panjang durasinya. Banyak adegan yang dipotong, dalam artian bukannya tidak lolos gunting sensor, namun tidak klop dengan novelnya. Mulai dari adegan awal yang menggambarkan sengitnya pertempuran penyihir Raja Galbatorix dengan Arya, peri yang memperebutkan telur Saphira. Di novel, Eragon menemukan telur diceritakan pertama, baru kemudian dikisahkan flashback dulunya ada sebuah pertempuran. Selanjutnya, tentang mendadak tumbuh dewasanya Saphira menjadi naga. Padahal di novel juga dikisahkan penyesuaian diri Eragon yang sungguh sulit bersama Saphira, berburu rusa, berlatih menunggang hingga mengucapkan mantra berbahasa Latin. Sementara petulangan Eragon benar-benar terasa ketika betapa panjangnya ia menempuh semua perjalanan itu. Di film, terasa sebagai tempelan belaka. Betapa cepatnya, ia tiba di tempat tujuan. Begitu pula Brom yang hanya berkendara kuda bisa dengan cepat menyusul Eragon yang menunggang Saphira.

Aduh, selama menonton film, saya juga belum begitu menemukan greget yang nyata. Terasa hambar dan biasa-biasa saja. Bukannya saya meremehkan kemampuan sutradara yang cukup brilian menuangkan sinema dengan teknologi CGI semacam Harry Potter dan Lord Of The Rings. sayangnya, film ini hanya detail pada Saphira semata. Simak, adegan Eragon menunggang naga yang selalu terlihat bagus. Bagaimana Saphira mengembangkan sayapnya, meliuk-liuk menembus belantara, menukik terjun ke atas ngarai, menyusuri sungai, serta menembus awan. Sisiknya yang berkilau dan gestur tubuhnya sungguh gemulai, anggun, berkesan feminin (disuarakan oleh Rachel Weisz). Sementara alur dan cerita kurang begitu diperhatikan. Siapa yang tidak heran ketika naga sudah mengenakan pelana. Darimana? Atau monster-monster yang kurang menakutkan bahkan 'cemen'.


Overal, film ini tak lebih sebagai hiburan. Dan, memang hanya itu tujuannya.

Tidak ada komentar: