Senin, 23 Juni 2008

Happy Feet

Menonton film ini seperti menyaksikan sebuah drama musikal lengkap yang diperankan bintang film brilian nan animatif. Sebuah film yang mendeskripsikan tak hanya sosok penguin yang lucu, namun juga memberikan amanat tentang keserakahan manusia yang tidak menjaga kelestarian lingkungan.Awalnya, saya tidak begitu tertarik menonton. Namun melihat resensi yang katanya nongkrong sebagai box office selama beberapa minggu membuatku mau tidak mau menyorotkan perhatian lebih pada film ini. Apalagi didukung oleh bintang-bintang papan atas sebagai pengisi suara, mulai dari Elijah Wood, Brittany Murphy, Robin Williams, Nicole Kidmann, Hugh Jackman, Hugo Weaving, dll membuatku makin mupeng untuk nonton. Sempat pula sebelum nonton, teman saya mencetus, "Pasti membosankan deh soalnya cuma satu hewan aja, gak kaya Madagascar atau The Wild yang variatif dan penuh warna." Ah, belum tahu saja kok mengomel.


Mari kita menonton. Dan selanjutnya saya terperangah. Awal film kita sudah disuguhi dengan asyiknya kutub, lucunya penguin yang berdesak-desakan, berbulu lembut, dan mereka berlagak sebagai penyanyi masa kini. Hm, suaranya, aransemen musik, gaya, maupun tampilan animasi menyatu dengan cozy. saya sungguh comfort dan seluruh jiwa raga terasa tertambat. Lucu, haru, unik campur menjadi satu.Berkisah tentang penguin kecil yang bernama Mumble artinya menggumam yang tak bisa menyanyi. Perlu diketahui, di komunitas penguin tersebut, perlu ahli menyanyi agar diterima dan disenangi kawan-kawannya. Sebagai identitas dan pengesahan jati diri. Padahal sang ortu 'gape' banget menyanyi dan berdansa, begitu pula cewek idamannya, gloria yang jadi pujaan anak-anak muda.

Mumble akhirnya melakukan pencarian jati diri. ia menemukan beberapa kawan yang mau menemaninya mengarungi masa-masa itu. Maka mengalirlah, mulai dari dikejar-kejar anjing laut yang ganas (eh, bukannya anjing, singa, atau gajah laut itu herbivora ya? kok aneh ya...), menemukan traktor laut, hingga mereka menyadari kehadiran sosok lain di luar komunitas mereka, yang disebut Mumble sebagai 'alien'. Setelah melakukan pencarian jauh, ia berhasil menemukan dermaga dan kompleks galangan kapal laut yang lengkap. setelah sempat pula dikejar paus pembunuh, ia bertekad menyusul kapal laut yang berangkat berlayar demi mengetahui siapa sebenarnya sosok yang dinamakan 'alien' itu?

Ketika sadar, baru tahu bahwa ia dikurung dalam sebuah kotak kaca bernama akuarium. Ups, ia berada di kebun binatang sekarang! Barulah ia tahu nama 'alien' itu! manusia! Walaupun ia berusaha menarik perhatian dengan mengentak-hentakkan kaki (happy feet) sesuai keahliannya, ia tetap gagal. Ups, lupa. Mumble tak bisa menyanyi, tapi ia jago sekali bikin tarian ala Tap Dance yang energik. Itulah yang membuatnya dikucilkan dan dianggap aneh, sebab tak lazim seekor penguin pintar menari seperti itu.



Singkat cerita, Mumble dikembalikan ke habitatnya. Namun sebelumnya diberi sensor sinyal agar diketahui secara jelas keberadaannya. Maka, setelah dikembalikan, komunitas pengiun pun geger. Tetua sana menuduh Mumble pengkhianat yang hendak mengacaukan kondisi comfort yang ada selama ini. tentu saja Mumble berkilah bahwa ia sama sekali tidak bermaksud buruk. Tujuannya dia ke sini ialah untuk memberi tahu umat manusia tentang keberadaan pengiun yang harus dilestarikan, biar manusia tahu bahwa hewan juga perlu dijaga keberadaannya. Bukannya semena-mena menjaring ikan hingga menimbulkan 'krisis pangan' dalam komunitas pinguin.

Sungguh banyak kemudian terjadi perdebatan di sana-sani. Di gedung PBB, pemikir, ahli lingkungan, aktivis, WWF semuanya bersatu menggelorakan semangat kelestarian lingkungan dan hewan. Sungguh, mengharukan perjuangan Mumble. Pada akhirnya, seluruh keluarga menerimanya dengan baik.Secara keseluruhan film ini cukup lengkap. porsi yang disuguhkan bukan hanya nasi pecel, tapi juga ada gado-gado. Menampilkan kehidupan monogami pinguin yang setia pada satu pasangan, perjuangan, cinta. Kerennya, film ini meraih Best Animated Movie versi Academy Award dua tahun lampau. Worthed banget kan? One of the best animated movie ever (in my opinion).

The Painted Veil

Film ini mengisahkan ironi tentang kehidupan suami istri yang banyak terjadi dalam kehidupan modern saat ini. Sebuah intrik ketidakcocokan yang bisa berujung pada banyak hal, seperti saling diam, perceraian, atau bahkan pembunuhan. Jalan apakah yang mereka pilih dan kenapa mereka memilihnya? Naomi Watts (maaf lupa nama di filmnya) menikah dengan Edward Norton (ini juga lupa, hehe….) bukan atas dasar cinta, melainkan karena hendak pergi dari ibunya di London. Seusai menikah, mereka langsung tinggal di daerah Shanghai pedalaman karena Edward bekerja sebagai ahli mikrobiologi di suatu instansi pemerintahan di sana.


Sebagai istri setia, Naomi manut-manut wae tinggal dimanapun, bahkan di tempat yang agak kumuh.Anehnya, semakin hari hubungan di antara mereka sebagai suami istri semakin aneh dan aneh. Edward tidak hendak berbicara jika tidak bertanya, sementara Naomi tidak tahan didiamkan, mencari keasyikannya sendiri, tapi tetap tidak bisa. Ia butuh perhatian, kasih sayang, hiburan, dan permainan. Ia belum mendapatkannya dari suaminya. Tak pelak, ketika ada seorang lelaki yang menawarinya, ia terjatuh dalam perselingkuhan yang membelenggu. Sang suami yang tahu pura-pura tidak tahu menahu.

Dalam suatu pertengkaran dahsyat, akhirnya mereka bersepakat untuk pergi ke suatu wilayah epidemi kolera dengan tujuan selain membantu para korban juga menjauhkan Naomi dari selingkuhannya. Tapi sama saja, kehidupan pernikahan mereka tetap hambar. Bahkan makin menjadi-jadi. Sebuah hubungan yang tiada artinya. Dalam malam yang menentukan mereka berusaha mendobrak pintu penyekat selama ini. Kenapa sepertinya susah dipahami, padahal Naomi hanya seorang wanita biasa yang tidak hendak menjadi hebat. Begitu pula, Edward yang selama ini tidak mau mengerti hal sepele yang menjadi keinginan wanita.

Lambat laun, hubungan mereka makin akrab dan sepaham. Puncaknya, Naomi hamil diiringi dengan kematian Edward yang ternyata terjangkit kolera. Film ini memberikan banyak pelajaran terkait dengan kekuatan hati, cinta, dan kasih sayang serta bagaimana menjalin dan mempertahankan sebuah hubungan. Sebagai suami istri hubungan memang lebih rentan, tapi bagaimana sikap saling mengerti, perhatian, dan seiring sejalan akan mampu menyatukan keduanya dalam payung rumah tangga.

Film ini juga dihiasi dengan visualisasi pemandangan menakjubkan, berlatar pegunungan hijau, sungai berkabut nan eksotik. Sesekali bahkan mengingatkan kita pada pedalaman Indonesia dengan segala atribut kelokalannya yang khas. Penduduk berkulit coklat, bertubuh sedang dan bermata agak sipit. Imaji saya langsung terbayang pada daerah Vietnam. Tak heran juga, setting syuting juga mengambil lokasi di daerah tersebut. Ditambah dengan sedikit bahasa lokal yang tidak familiar. Toh, sebagai film drama, ini sudah termasuk kategori lumayan. Akting Naomi Watts dan Edward Norton cukup padu, natural, sekaligus menggugah emosi. Tak begitu mengecewakan.

Big Fish


Cerita satir tentang perjuangan hidup seorang ayah yang dicintai dimana-mana, kecuali anak lelakinya satu-satunya. Inilah tema film ini sebenarnya. Ironis memang, Bahkan, mereka tidak lagi berbicara setelah anaknya bekerja di daerah berbeda selama lebih dari 3 tahun. Kondisi mereka dipertemukan ketika sang ayah hendak menemui ajalnya alias sekarat, namun masih digambarkan cukup sehat. Semenjak kecil, sang anak dicekoki oleh cerita-cerita fantastis sang ayah yang berkaitan dengan petualangan sang ayah mengarungi daerah-daerah mistis dan bertemu dengan orang-orang aneh nan imajinatif. Sang anak selalu mendengar cerita-cerita yang baginya so impossible terjadi di dunia realitas.


Parahnya, ia tidak lagi membedakan cerita ayahnya, mana yang sesungguhnya mana yang bukan. Tak pelak, di satu sisi sang anak merindukan kebersahajaan sang ayah yang apa adanya tanpa perlu ditutupi maupun diberi bumbu cerita bombastis. Di sisi lainnya, sang ayah memang sudah merasa sepatutnya ia bercerita sesuai dengan jalan hidupnya selama ini. Hal yang paling aneh dalam ceritanya ialah tentang ikan besar alias big fish. Nah, akhir cerita ditutup dengan ending mengejutkan plus mengharukan.

Sepanjang film ini, penonton banyak disuguhi perjalanan hidup sang ayah di waktu mudanya yang penuh petualangan, mulai dari menyelamatkan penduduk kota dari raksasa, berteman dengan raksasa bekerja di sebuah sirkus demi bertemu calon istri tercintanya, serta masuk di sebuah daerah damai yang penuh dengan penduduk ramah. Benarkah semua cerita di atas? Entahlah, yang jelas dugaan sang anak ada benarnya juga.

Bahwa cerita sang ayah tercampur antara fiksi dan realitas. Atau ini sebenarnya sebuah film yang dikatakan Baudrillard sebagai hiperrealitas, dimana suatu kondisi maya yang dikondisikan sebagai realitas sehingga penonton merasa apa yang dijalani dan dialaminya sebagai suatu realitas tersendiri. Contoh paling nyata ada di dunia hiburan Disneyland. Pengunjung merasakan betul apa yang dialaminya suatu bentuk realitas yang bisa dirasakan secara fisik padahal di situ kondisinya tak lebih suatu permainan fantasi nan imajinatif. Ah, kok jadi melenceng yah…

Intinya, sang anak merasa sang ayah tidak lagi mampu membedakan kondisi yang dialaminya sehingga ia menjadi skeptis. Finally, sang ayah yang terserang stroke mendadak dan harus dilarikan ke rumah sakit meminta sang anak untuk bercerita tentang akhir hidupnya yang membahagiakan. Tiba pada satu titik ini, mendadak saya teringat pada ayah saya yang menderita sakit serupa, yakni stroke. Sungguh, tak tertahankan lagi air mata menetes deras meskipun mungkin bagi orang lain peristiwa ini tak membekas apapun. Bagi saya, inilah suatu momen yang sebenarnya, bahwa di sinilah sebenarnya titik point dari film ini. Berdasarkan penjelasan dr. Bennet, dokter yang merawat sang ayah, cerita yang terlalu berlebihan – terutama tentang kelahiran sang anak dan big fish – didasarkan pada sejarah kelahiran sang anak yang ternyata sang ayah tidak berada di tempat.

Lalu apa maksudnya? Cerita imajinatif ini dibuat dengan tujuan agar lebih menarik sehingga pendengar tidak merasa bosan. Maka, runtuhlah pertahanan sang anak yang mengira semua ini hanyalah ilusi belaka. Akhir cerita ditutup secara imajinatif. Kepergian sang ayah digambarkan dengan cara menjelma menjadi big fish dan diiringi keluarga plus seluruh teman terdekatnya yang pernah ditemuinya sepanjang hidupnya.

The Queen

Sebuah film tentang kerajaan monarki terbesar di bumi ini, yakni Inggris yang dideskripsikan melalui sudut pandang Ratu Elizabeth II. Setting tahun dibuat sekitar tahun 1997, pasca pemilihan Tony Blair sebagai perdana menteri serta tragedi meininggalnya People’s Princess, Lady Diana yang menghebohkan. Melalui film ini, kita akan semakin mengerti pergulatan pikiran sang ratu dalam menghadapi keluarga, perdana menteri sendiri, dan khususnya media publik. Kegelisahannya dalam bertindak serta sentuhan humanistiknya yang menawan menjadikan sang ratu tak ubahnya sebagaimana manusia biasa yang rapuh, rentan, dan sensitif.


Sang ratu yang beraliran konservatif tidak terlalu suka menonjol apalagi di-blow up pada media seperti halnya Lady Diana. Sudah menjadi rahasia umum pula jika ternyata sang ratu tidak terlalu menyukai Lady Diana yang digambarkan glamour, gila perhatian, tapi juga memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi sehingga dicintai semua orang. Sang ratu berada pada posisi yang sulit pasca kematian People’s Princess ini. Media menuntut agar sang ratu lebih terbuka, namun tentu saja ia tidak suka dibantah apalagi didikte.

Hal yang dikritisi habis-habisan oleh media seperti halnya, sikap keluarga kerajaan yang tidak memberikan pernyataan seputar kematian Lady Diana, tuntutan agar keluarga kerajaan segera pindah dari istana Bristol ke Buckhingham di London, serta pengibaran bendera setengah tiang. Seiring tekanan yang bertubi-tubi dan meningkat dari hari ke hari, akhirnya sang ratu berkenan juga memenuhi seluruh tuntutan itu. Bukan apa-apa, semua itu hanya demi memenuhi keinginan rakyatnya.

Yup, sebuah film yang dikombinasikan dokumenter ini terkesan riil. Sayang sekali, kehadiran pemeran yang lain seperti tempelan belaka. Pangeran Charles kurang memberikan greget yang nyata, anehnya tampangnya jauh sekali dengan Charles yang asli. Begitu pula Pangeran Philip, suami sang ratu. Sementara ibu suri malah terkesan terlalu gemuk. O ya, pemeran Tony Blair bermain lumayan cemerlang. Di akhir film, ia dan sang ratu kembali berdiskusi tentang kondisi aktual negeri. Pesan yang ditangkap dari film ini ialah ketakutan sang ratu akan penyesuaian kerajaan pada modernisasi serta sikap yang harus ditempuhnya terkait dengan media dan publik.

Bagaimanapun kegelisahan ratu yang gundah antara menjaga keluarganya maupun rakyat Inggris sebagai sebuah kerajaan monarki terhadap benturan media, cukup terakomodasi dengan sebaik-baiknya. Akting brilian Hellen Mirren sanggup mengejawantah dalam sosok Ratu Elizabeth II nyaris tanpa cacat. Kegundahan, gerak-gerik khas rata, hingga pergulatan pemikirannya terdeskripsikan sesuai kondisi riil. Tak pelak, lewat film inilah ia berhasil menyabet piala Oscar sebagai aktris terbaik. Di usia senja, Hellen Mirren makin matang dalam kebersahajaan dan kualitas akting mumpuni.

Bridge To Terabithia

Bridge to Terabithia adalah film karya Walt Disney Pictures yang sebenarnya dikhususkan buat anak-anak. Namun, sebagian filmnya disisipkan kisah dan pesan filosofis tersendiri tanpa nada menggurui dan enak juga ditonton untuk semua kalangan. Alkisah, Jess anak lelaki satu-satunya dalam sebuah keluarga. Ia digambarkan pendiam, selalu diganggu teman-temannya, dimarahi orang tuanya, sedikit pemarah, namun suka menggambar. Suatu hari, sekolah mereka kedatangan murid cantik bernama Leslie Burke yang cerdas, atraktif, serba bisa, dan imajinatif.

Mereka berdua berkawan akrab terlebih karena Leslie ternyata menjadi tetangga baru Jess. Berpetualang di daerah hutan, mereka menemukan dunianya sendiri dalam bermain, mencipta karakter-karakter tertentu, dan menamakan wilayah mereka sebagai Terabithia. Inti cerita ini sebenarnya simpel, namun dideskripsikan panjang dan bertele-tele. Pada menit awal, saya belum mampu menduga akhir cerita ini. Baru ketika menginjak akhir, saya tahu ada beberapa hal yang bisa dipetik, antara lain tentang persahabatan dan pesan “Janganlah takut untuk mencipta imajinasimu dengan membiarkan pikiranmu terbuka”.

Menonton film ini, ingatan saya melambung pada masa kecil dimana juga memiliki teman-teman sepermainan yang juga mencipta visual imajinatif yang terkadang berlebihan. Maklum, sebagai penyuka komik, cerita anak-anak, dan novel, imajinasi saya bahkan tiba pada satu titik yang tidak terduga sebelumnya. Anehnya, seringkali imajinasi saya gunakan dalam mencipta hubungan-hubungan parallel antara komunikasi dengan kawan, guru, menghafal pelajaran, bahkan melakukan aktivitas lainnya. Kok jadi ngomongin diri sendiri?

Aha, Leslie tampil begitu menggemaskan, mengagumkan, dan mencipta sensasi tersendiri. Memandangnya, mendadak saya ingat pada wajah Keira Knightley sewaktu kecilnya, mirip sekali, bahkan juga sifat-sifatnya. Apa mereka bersaudara? I dunno well, sayang sekali kelincahannya ditutup secara dramatis, tragis sekaligus ironis. Dia meninggal dalam permainan, sementara Jess pergi ke museum. Anehnya, saya juga merasakan kehilangannya sebagai teman secara mendadak. Entah, sensasi apa ini. Apakah ini isyarat bahwa saya juga ditinggal pergi?

Walah-walah, sebuah persahabatan yang indah akhirnya ditutup secara mengenaskan. Bayangan saya, mungkin sekali film ini ingin menegaskan, khususnya pada anak-anak bahwa kematian sahabat bukanlah kesalahan kita sendiri. Melainkan, sudah seharusnya ia pergi. Kepergian mereka merupakan suatu takdir yang harus diterima. Dan, meskipun mereka telah tiada namun kenangan-kenangannya tidak akan pupus ditelan waktu.

Oke, terkait dengan nilai filosofis, ada beberapa yang terlontar dari Leslie, seperti biarkan pikiranmu terbuka. Namun, ada juga yang terkesan dangkal. Seperti halnya sewaktu mereka berbincang tentang alkitab, yesus, dan neraka. Penolakan Leslie akan nilai alkitab dan neraka sebenarnya bisa memancing diskusi lebih lanjut. Namun, perbincangan ini terputus begitu saja tanpa ada kelanjutan. Lebih baik jika ditiadakan saja seharusnya.

Minggu, 22 Juni 2008

Eragon

Film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Christopher Paolini yang terjual lebih dari 30 juta eksemplar dan dialihbahasakan ke 32 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Novel keduanya berjudul Eldest yang juga sama larisnya, direncanakan akan difilmkan menyusul tahun depan.


Berkisah tentang bocah berusia 16 tahun, Eragon yang menemukan sebutir telur berwarna safir, biru berkilau. Awalnya ia mengira telur itu sebuah batu jimat milik Raja Galbatorix, hingga tanpa pikir panjang ia hendak menjual pada seorang penjual daging, yang menolak karena emoh berurusan dengan raja dan antek-anteknya.

Suatu malam, telur itu menetas dan muncullah seekor naga mungil yang berwarna safir. Eragon kaget, terlebih setelah didengarnya kisah dari sesepuh desa bernama Brom (nantinya akan menjadi pendamping perjalanannya menemui Varden) tentang legenda penunggang naga (dragon riders) yang pemberani dan penuh kekuatan.

Semakin lama, Eragon mengerti tentang posisinya sebagai sosok yang terpilih. Apalagi setelah pamannya meninggal oleh orang-orang suruhan Raja Galbatorix, penguasa Algaesia yang tidak menginginkan munculnya penunggang naga lagi. Bersama Saphira dan Brom ia memulai petualangannya menuju istana raja, melalui ngarai, padang pasir, lembah hijau, pegunungan es, hingga sungai. Di tengah perjalanan ia banyak menemui rintangan, mulai dari Urgal hingga kemampuannya yang memang belum seberapa.

Karena keras kepala, Eragon yang sempat bermimpi Arya ditawan oleh penyihir, akhirnya mengubah perjalanan. Ia membebaskan putri dari tawanan musuh dan melarikannya ke Varden untuk mencari bantuan.

Singkat cerita, penyihir yang tidak terima kemudian mengepung wilayah Varden dan tumpahlah pertarungan sengit. Di sini, Saphira nyaris tewas oleh monster kelelawar ilusi buatan penyihir. Sementara Eragon terkapar kelelahan. Ending cerita ditutup dengan perjalanan Eragon bersama Saphira serta Arya yang hendak melanjutkan petualangannya kembali. Menemui Raja Galbatorix.



Secara keseluruhan, film ini kurang panjang durasinya. Banyak adegan yang dipotong, dalam artian bukannya tidak lolos gunting sensor, namun tidak klop dengan novelnya. Mulai dari adegan awal yang menggambarkan sengitnya pertempuran penyihir Raja Galbatorix dengan Arya, peri yang memperebutkan telur Saphira. Di novel, Eragon menemukan telur diceritakan pertama, baru kemudian dikisahkan flashback dulunya ada sebuah pertempuran. Selanjutnya, tentang mendadak tumbuh dewasanya Saphira menjadi naga. Padahal di novel juga dikisahkan penyesuaian diri Eragon yang sungguh sulit bersama Saphira, berburu rusa, berlatih menunggang hingga mengucapkan mantra berbahasa Latin. Sementara petulangan Eragon benar-benar terasa ketika betapa panjangnya ia menempuh semua perjalanan itu. Di film, terasa sebagai tempelan belaka. Betapa cepatnya, ia tiba di tempat tujuan. Begitu pula Brom yang hanya berkendara kuda bisa dengan cepat menyusul Eragon yang menunggang Saphira.

Aduh, selama menonton film, saya juga belum begitu menemukan greget yang nyata. Terasa hambar dan biasa-biasa saja. Bukannya saya meremehkan kemampuan sutradara yang cukup brilian menuangkan sinema dengan teknologi CGI semacam Harry Potter dan Lord Of The Rings. sayangnya, film ini hanya detail pada Saphira semata. Simak, adegan Eragon menunggang naga yang selalu terlihat bagus. Bagaimana Saphira mengembangkan sayapnya, meliuk-liuk menembus belantara, menukik terjun ke atas ngarai, menyusuri sungai, serta menembus awan. Sisiknya yang berkilau dan gestur tubuhnya sungguh gemulai, anggun, berkesan feminin (disuarakan oleh Rachel Weisz). Sementara alur dan cerita kurang begitu diperhatikan. Siapa yang tidak heran ketika naga sudah mengenakan pelana. Darimana? Atau monster-monster yang kurang menakutkan bahkan 'cemen'.


Overal, film ini tak lebih sebagai hiburan. Dan, memang hanya itu tujuannya.

Mengejar Mas-Mas


Mendengar judulnya, lumayan aneh, sama sekali tidak lazim. Ya, biasalah khas film-film Rudi Sujarwo. Baca reviewnya di koran, cukup bikin penasaran. Terutama karena ada Dina Olivia. Biasalah, akting cewek satu ini keren abis dan cihuy punya. Karena penasaran, jadilah gw menonton, padahal duit pas-pasan. Selama ini gw emang jarang ke bioskop dua kali seminggu.


Langsung aja. Film ini dibuka dengan adegan yang menggambarkan keakraban hubungan ayah dan putrinya, Shanaz (Poppy Shovia) lari-lari pagi. O please, dari sini ternyata sudah ada yang mengganggu kenikmatan menonton. Apa itu? pengambilan gambar yang bergoyang-goyang. Maklum, ini salah satu karaktersitik Rudi yang gemar menggunakan teknik hand-held camera.. Awalnya, lumayan realistis, tapi makin lama malah bikin spoiler abis. Mengganggu. Alur cukup klise. Bentrok antara anak dengan ibunya yang ingin kawin dengan lelaki lain,padahal belum genap 8 bulan suaminya meninggal. Maka, Shanaz kabur dan hinggap di Jogja, mengejar pacarnya yang lagi panjat gunung.

Sayang, pacarnya masih lama di atas gunung. Dia kemudian tersesat, kelaparan, dan dikejar preman. Inilah awal perkenalannya dengan Ningsih (Dina Olivia), pelacur yang dihargai Rp 50 ribu sekali kencan. Duh, dengan wajah seelok itu, dia bisa pasang tarif dua puluh kali lebih mahal.

Maka, mereka 'bersaudara' sejenak. Lalu, muncul Parno (Dwi Sasono), pengamen kenalan Ningsih yang sempat dijadikan pacar hanya empat jam saja. "Jam kelima saya putuskan karena tahu dia pelacur," katanya curhat pada Shanaz. Oke, peran Parno di sini sebagai titik tarik ulur antara Ningsih dengan Shanaz. Cukup menarik adegan ketika Ningsih ternyata cemburu sewaktu tahu Shanaz pacaran. Alhasil, Parno kudu kecewa ketika jadian sama Shanaz tepat di saat dia mau balik ke Jakarta dijemput pacarnya. Dan, setitik cinta Ningsih ternyata masih ada.



Film ini sebenarnya bercerita tentang tragedi cinta dan kepiluan seorang pelacur, meski hanya tempelan belaka. Akting Dina Olivia memang mantap apalagi sewaktu dia diusir dari kosnya karena ketahuan pelacur (sebelumnya dia mengaku dosen). Beramai-rama warga desa memukuli dan mengusirnya dari desa. Adegan ini benar-benar mengharukan. Dina mempertontonkan kepiawaiannya berakting dengan tetap tegar dan bernyali. Poppy Sovia juga cukup mampu mengimbangi akting Dina yang brilian. Malah Dwi Sasono yang biasanya tampil natural, di sini seperti kehilangan auranya bersanding dua cewek cakep. Weleh-weleh. Apa dia grogi ya? Bagaimanapun, worthed banget nonton film Indonesia yang ini!! Apalagi Dina juga dapat piala Citra. Gak sabar menunggu filmnya mendatang..Hm, such a nice movie!!!



Pursuit of Happyness


Seberapakah kebahagiaan dapat dirasakan sepenuhnya oleh manusia? Ada yang bilang bahwa kebahagiaan bukan muncul dari diri sendiri, namun kebahagiaan muncul jika orang lain merasa bahagia atas hadirnya kita di tengah-tengah mereka. Namun, bagaimana pula jika kita ingin mencari dan mendapatkannya? Mampukah kebahagiaan dikejar?


Film yang dibintangi dengan sangat apik oleh Will Smith ini bercerita mengenai perjuangan hidup seorang sales dalam memperjuangkan nasibnya demi anak dan istrinya. Dibuka dengan gaya naratif, film ini dipenggal per-fragmen yang menyimbolkan suasana pergelutan hidup pada waktu itu. Yang pertama, naik bus. Dituturkannya dengan bahasa gamblang bagaimana Will Smith berjuang setiap hari mencari pembeli alat pemindai kepadatan tulang - yang telanjur dibelinya banyak dan sungguh sangat mahal - berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain, dari satu dokter ke dokter yang lain, ataupun pelanggan yang berminat. Segala rintangan ditempuhnya tanpa mengeluh, bahkan hingga mobilnya diderek karena dikenai tilang.

Selanjutnya, ada pula babak kehilangan, pengejaran, dan lain-lain. Di setiap babak, Will Smith mengalami kondisi yang kian parah dan membuatnya nyaris frustasi. Bahkan hingga istrinya meninggalkannya karena sudah tidak tahan hidup menderita. Perlu diketahui, istrinya ini bekerja double shift di sebuah tempat produksi. Sementara anaknya belajar di sebuah penitipan anak.

Pada suatu hari, ia tercengang melihat lalu lalang orang yang selalu tampak ceria dan mengumbar senyum keluar dari Gedung Bursa Efek. Ia tertarik dan berusaha mati-matian untuk bisa masuk sebagai salah satu pegawainya. Mulai dari mendaftar - tapi kemudian langsung kabur mengejar pencuri gipsy yang mengambil alat miliknya, bertemu dengan manajer HRD, dan mengikuti tes sebagai pegawai magang bersaing dengan 19 orang lainnya. Kondisinya saat itu sungguh mengenaskan, bahkan jadi gelandangan segala. Toh, akhirnya ia diterima juga. dari situlah keberhasilan selanjutnya mampu ia rengkuh, bahkan meyakinkan istrinya untuk kembali ke pelukannya. Terinspirasi oleh kisah nyata, film ini meyakinkan kita tentang makna kebahagiaan yang sungguh sangat subjektif. Namun, bagaimanapun manusia akan mampu bahagia ketika memperoleh apa yang diharapkan dan dicita-citakannya melalui perjuangan yang gigih dan pantang menyerah. So inspired and amazing movie...I love this one!!

Harry Potter and The Order of The Phoenix


Musim ini Harry Potter, dkk. memasuki petualangan tahun kelima yang lebih gelap, mendebarkan, dan menegangkan. Singkatnya, seru abis. Okelah, pada beberapa scene ada yang terasa kurang pas dengan versi novelnya. Tapi, hal ini lebih bisa dimaafkan ketimbang versi visual-nya Da Vinci Code yang sungguh-sungguh mengecewakan. Ups, meskipun Peter F. Jackson lebih piawai dalam menciptakan kesan visual yang imajinatif dalam Lord of The Rings.


Okelah, tahun kelima ini dibuka dengan adegan Dementor yang muncul di Little Winging, kompleks perumahan muggle. Dengan kondisi terpaksa, Potter melancarkan mantra Patronus untuk melindungi Dudley dari serangan Dementor. Nah, selanjutnya Potter diajak beberapa penyihir, seperti Eye-Moody, Pof. Tonks, dll untuk mengikuti pertemuan rahasia Order of The Phoenix, sekutu Dumbledore di kediaman Sirius Black. Persekutuan ini mengilhami Hermione dan Potter untuk mengajak anak-anak yang lain membentuk Dumbledore's Army.

Nah, kenapa? Karena pasca musim keempat kemarin yang diawali dengan kematian Cedric, suasana Hogwarts makin diliputi ketakutan oleh kembalinya Voldemort. Padahal, Hogwarts kini dikuasai oleh Inkuisitor Agung dari kementrian, Umbridge sebagai pengawas sepenuhnya sehingga kegiatan anak-anak disensor abis. Potter menggalang dukungan anak-anak dengan mengajar mereka tentang Ilmu Pertahanan. Kondisi yang tidak menentu ini diperparah oleh menghilangnya Dumbledore dan kekacauan Fred dan George sewaktu ujian OWL.

Finally, pertarungan Potter, dkk dengan Pelahap Maut sungguh sangat dramatis sekaligus mencengangkan. Dumbledore yang mendadak muncul di arena mati-matian melawan Voldemort, meninggalkan Potter yang terkapar kelelahan. Overal, film ini cukup menghibur dan keren sepenuhnya. Sayang sekali, beberapa adegan kurang dieksplorasi, seperti kaburnya di kembar yang 'hanya' diiringi letusan petasan warna-warni. Padahal di novel, mereka menyisakan kenangan berupa lubang besar. Plus, pertarungan yang kurang greget seperti di novelnya. Bagaimanapun, meskipun susah, setidaknya memang harus disamakan dengan versi asli. Ketika berbeda, banyak penonton yang terlampau berekspektasi tinggi, harus menahan kecewa.. Duh, Harry Potter mendatang harus penuh greget!!

Transformers


Jika film seperti sepotong roti, maka penonton yang cerdas bukan hanya memilih roti yang tidak hanya enak, melainkan juga bergizi tinggi dengan penuh kelengkapan aneka macam zat yang diperlukan oleh kesehatan tubuh. Bukan hanya sekadar sebagai junk food yang malah memenuhi usus besar dan menyebabkan berbagai penyakit. Yang terakhir ini biasanya tampak jelas pada film yang hanya mengandung unsur horor, kekerasan, ataupun penyiksaan, tanpa esensi yang jelas pada setiap plot yang tersaji.


Lalu, Transformer memenuhi komposisi yang manakah? Ah, tanpa perlu berekspektasi tinggi-tinggi, film ini saya kategorikan antara bergizi dan junk food. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, Steven Spielberg memegang peranan yang kuat atas film yang dibuat remake dari film pertamanya tahun 1980-an ini. Penonjolan yang kuat pada segi animasi dan visual yang memanjakan mata penonton ini memang terbilang fantastis. Bahkan tergolong realistis. Apalagi ketika tidak ada lagi batas yang tegas antara manusia dan animatif sehingga penonton merasakan sebuah kondisi imajiner yang melebur dengan begitu halusnya. Sayang, karena sisi ini yang terlalu ditonjolkan, pada akhirnya sisi yang amat penting dari film menjadi terlupakan. Apa pula itu? Plot cerita dan konflik yang belum tergarap maksimal. Bisa dimaklumi jika ternyata segmentasi yang hendak dibidik lebih pada anak-anak sehingga menafikan cerita yang dibuat enteng dan konflik datar. Namun, jangan lupa pula ternyata cerita di sini tidak benar-benar untuk anak-anak, ada pula sisi dewasanya.

Cerita berpusat pada komunitas robot jahat (Deception) yang dipimpin Megatron harus bertempur dengan robot baik (Autobots) yang dipimpin Optimus Prime karena hendak menguasai dunia manusia. Syaratnya, harus mendapatkan The Cube sebagai mediator pencipta kekuatan mereka. Masalahnya, The Cube ini ada di antara manusia dengan segudang kompleksitas masalahnya. Cerita ini simpel, tapi konflik yang ada terlalu penuh klimaks sehingga penonton merasa lelah. Bukan karena ceritanya yang bertele-tele, tetapi karena saking penuhnya pameran visualisasi kecanggihan robotik nan memukau. Jadinya, penonton tidak diberi kesempatan untuk sekadar mengagumi animasi visual yang makin mendekati realitas (bahkan tidak ada lagi batas di antara keduanya). Dari menit ke menit yang rapat, adegan selalu seru dan sayang untuk dilewatkan. Toh, film ini hanya sekadar menghibur. Kalau ingin cari amanat dan pesan tentang kehidupan yang hakiki? Anda berada pada jalur yang salah...

Pirates of The Caribbean : At World's End


Untuk kali ketiga film saga petualangan nan karikaturistik ini dirilis. Setelah sukses dengan dua film pendahulunya, The Curse of The Black Pearl dan Dead Man's Chest, kini makin mantap dengan aksi petualangan yang mendebarkan, cerita kompleks, plus efek animasi menakjubkan.


Menit-menit awal dibuka, penonton sudah disuguhi dengan konflik yang mantap dan penuh teka-teki. Alkisah, sebelum bertemu dengan kapten favorit kita, Jack Sparrow (Johnny Deep), kita harus bersabar dulu menyaksikan rombongan Elizabeth Swan (Kiera Knightley), Barbossa (Geoffrey Rush), dan Will Turner (Orlando Bloom) menuju Singapura untuk bertemu dengan kapten Sao Feng (Chow Yun Fat) yang memegang peta menuju Davy Jones Locker. Perlu diketahui, di film sebelumnya, Sparrow yang sudah meninggal diremuk monster laut Kraken, menerima kutukan dimana jiwa dan rohnya ditawan oleh Davy. Dia harus diselamatkan karena berperan penting dalam misi penyelamatan perompak dunia yang terancam oleh East Trading Company. Dia membawa salah satu dari sembilan koin. Nah, setelah diselamatkan, konflik makin rapat dan berlangsung cepat. Penonton seperti tidak diberi kesempatan untuk menghela napas.

Cerita tidak lagi berpusat pada empat tokoh sentral, melainkan meluas pada setiap tokoh. Mulai dari pengangkatan Elizabeth sebagai tokoh baru, pengkhianatan Will, pelepasan Dewi Calypso yang dipercaya bisa membantu, hingga konferensi di Bretherns Cove. Kemudian pecahlah pertempuran antara Davy Jones cs melawan Sparrow cs yang tidak jelas posisinya.

Bagi yang tidak menonton dua film sebelumnya, cukup sulit untuk mencerna film ini. Dengan durasi 168 menit, meski banyak aksi menawan dan animasi fantastis tersaji, sayang kelemahan menonjol ada pada ceritanya yang kurang solid. Sungguh, penonton akan mengerutkan kening sekaligus terhibur. Yeah, ada juga adegan cool yang mengundang senyum macam Davy yang mengusapkan air mata dg tentakel hingga pernikahan Will dan Eliz di tengah pertempuran. Overal, film ini cool abis and really-really interesting...

Sabtu, 21 Juni 2008

Babel

Bosan menonton film yang cenderung mengumbar adegan aksi tanpa menyentuh sisi kemanusiaan atau membuat kita merefleksi sejenak setiap jengkal perjalanan kita sebagai ciptaan Tuhan? Singkirkan dulu stereotype Hollywood yang itu-itu saja. Sekarang nikmati alur film yang baru saja menyabet gelar sebagai Film Terbaik di ajang Golden Globe Awards 2007 dan nominator Oscar ini. Judulnya singkat, Babel.

Sebuah film yang mengakomodir empat kisah-kisah dramatis di tiga benua, dalam cerita yang awalnya tak berkaitan, namun ternyata terjadi saling silang, menggugah dan mengingatkan kita akan banyak hal. Di daerah Maroko, dua bocah, Yossef (Boubker Ait El Caid) dan Ahmed (Said Tarchani), baru saja diberi senapan berkaliber 27 oleh ayah mereka, Abdullah (Mustapha Rachidi), untuk mengawal kawanan ternak. Yang namanya bocah, masih suka main-main, naas bagi sebuah bus wisata yang lewat, peluru Ahmed mengenai salah seorang penumpangnya. Siapakah penumpang itu? Dia wanita Amerika, Susan (Cate Blanchett)yang berlibur di Maroko bersama suaminya, Richard (Brad Pitt).

Perlu diketahui, pasangan ini memiliki dua orang anak yang ditinggal di rumah bersama dengan pembantu mereka, Amelia (Adriana Barzza) yang berdarah Meksiko. Kebetulan pula, bertepatan dengan sepeninggal majikan, Amelia harus menghadiri pernikahan anaknya. Maka, bersama dengan keponakannya, Santiago (Gael Garcial Bernal), mereka berempat melakoni petualangan yang menegangkan sekaligus mengharukan.

Di sisi lain, senapan yang digunakan untuk menembak secara tidak sengaja turis Amerika tersebut, ternyata dimiliki oleh pria Jepang, Yasujhiro (Koji Yakusho) yang memiliki hobi berburu. Yasujhiro sempat memberikan senapannya kepada salah seorang penduduk Maroko sebagai imbalan. Ia juga menghadapi problema yang ditimbulkan anaknya yang masih gadis, Chieko (Rinko Kikuchi) - yang gamang oleh isu keperawanan serta kerasnya lingkungan yang tidak bersahabat.

Seluruh kisah terjalin apik, menyadarkan kemanusiaan yang kokoh. Sayang, saya sendiri kurang merasakan 'greget' sebagaimana menonton film Crash. Padahal kedua film ini sama-sama bercerita masalah bentrok multirasial dan kemanusiaan. Hanya memang, Crash lebih apik dari segi penceritaan maupun pemaknaan terhadap penonton. Babel bagus, namun kurang istimewa.

Curse of The Golden Flower


Sebenarnya pinjem film ini sudah agak lama. Tapi belum sempat juga menonton, cuma disimpan dalam harddisk doank. Baca cerita temen-temen yang katanya asik dan menarik membuatku tergelitik untuk menelisik. Waduw, sebagus apakah karya sutradara yang juga bikin film "Hero" ini? Terlebih lagi, film ini juga dibintangi oleh aktor dan aktris ternama, macam Chow Yun Fat, Gong Li, dan penyanyi Jay Chou.


Film ini berkisah tentang perselingkuhan, intrik, ambisi, dan harapan yang terjadi dalam sebuah keluarga kerajaan. Permaisuri raja (Gong Li) harus meminum obat yang sudah dibubuhi racun setiap harinya. Ini atas dasar kehendak raja (Chow Yun Fat). Mulanya, permaisuri tidak 'ngeh' hingga kehadiran seorang wanita, yang ternyata mantan istri sang raja dulu. Dia diusir dari istana dengan tuduhan perayuan, akibatnya wajahnya ternoda oleh cap istana dan dia diusir. Seorang tabib menyelamatkannya, hingga selanjutnya mempermudah hubungan serta pemantauan terhadap situasi keluarga kerajaan. Pada dasarnya, antara raja dan ratu sudah tidak lagi punya rasa cinta. Demi terlihat rukun harmonis di mata rakyat, mereka berakting. Seolah kondisi baik-baik saja. Padahal di dalamnya situasi makin memanas. Ketiga putra kerajaan berebut tahta. Wan, putra mahkota dirayu oleh permaisuri. Jay, anak kedua mendapat perhatian raja, diharap menggantikannya. Hanya, anak ketiga yang tidak digubris.

Perbedaan ini membuatnya kalap. Di hari festival bunga serunai yang dirayakan gegap gempita, anak ketiga menghunus pedang ke punggung anak pertama. Raja murka. Dihantamnya ia hingga tak berbentuk. Masing-masing anggota kerajaan memiliki pasukan. Dan, mereka semua bertempur membawa kepentingan sendiri-sendiri. Adegan pertumpahan darah dideskripsikan begitu dramatis. Celurit membabat, darah muncrat, slayer bergambar serunai semburat merah, tubuh hancur tak bernyawa, bergelimpangan. Inilah harga dari ambisi tiada henti. Konon, seluruh pasukan kerajaan benar-benar diperankan nyata oleh figuran. Fantastis!!!

The Devil Wears Prada


Kangen menyaksikan aksi jempolan Meryl Streep, aktris peraih nominasi Oscar terbanyak dalam sejarah perfilman Hollywood ? Film drama romantik ini bisa mengobati kerinduan penggemarnya pada sosok yang juga dijuluki aktris seribu wajah ini. Oke, mungkin ini terlalu berlebihan. Tapi, yang jelas performa Meryl memang tak lekang dimakan waktu. Penampilannya makin mantap dengan pesona karakter yang kuat. Mulai dari Out Of Africa, A Cry In The Dark, Sophie's Choice yang membuatnya meraih Oscar.


The Devil Wears Prada merepresentasikan sikap kaum muda profesional yang kehilangan jati diri dan jiwa ketika berhadapan dunia kerja. Hal ini ditampilkan dengan baik oleh Andrea (Anne Hathaway - akting yang lumayan matang niy), seorang jurnalis cerdas yang melamar di majalah mode eksklusif, Runway. Ia wanita yang sederhana kalau tidak ingin dibilang agak konservatif, jadi banyak yang heran ketika ia memutuskan melamar di majalah ini. Lha wong, baru tes interview saja, pandangan orang sudah aneh pada dirinya. Parahnya, editor majalah ini sosok yang kejam, culas, dan sinis, digambarkan dengan baik oleh Meryl Streep yang berperan sebagai Miranda Priestly.

Maka, betapa sulit bagi Andrea memaksakan sosok yang bukan dirinya untuk dilakoninya dengan sebaik-baiknya. Semula ia hanya menyesuaikan dengan keinginan Miranda yang ahli fashion ternama. Sayang sekali kemudian, ia malah telanjur masuk di dalamnya. Kondisi ini dideskripsikan dengan baik, perubahan Andrea yang idealis bahkan mencemooh model-model Runway yang dikatakannya kurus, sementara pada akhirnya dia jadi salah satunya. Yang parah, teman-temannya jadi tidak nyaman dengan perubahan yang terjadi ini. Pacar, ayahnya, sahabat dekatnya. Bahkan, ia juga harus mengorbankan kepentingan teman sekerjanya untuk dirinya sendiri.

Film ini cukup detail menggambarkan profesionalitas dunia kerja. Ketika harus memenuhi keinginan bos dan diri sendiri. Keseimbangan kondisi yang bagus diperlukan untuk menjalani ritme kehidupan seperti ini. Nice and so freshly movie!!!

The Polar Express

Menghibur, lucu, hidup, dan menyentuh. Mungkin kata-kata singkat ini yang bisa mendekripsikan secara sekilas film kartun animasi ini. Dibuat melalui teknologi canggih CGI hingga dibuat detail dan semirip aslinya membuat mata penonton serasa dimanjakan. Simak, betapa halusnya surai rambutnya, gerakan, baju, pakaian, desir angin, kepak sayap elang, kristal salju yang bertaburan, nyala api, bahkan ekspresi serta kerlip cahaya mata yang memantul indah. Menurut literatur, teknologi animasi ini menggunakan model riil manusia yang nantinya masuk sebagai blue print untuk kemudian ditiru oleh CGI.

Menampilkan tema klasik tentang natal, film ini berusaha menampilkan melalui sudut pandang lain. Yakni tentang anak-anak yang tidak percaya akan adanya Santa Clause sehingga dalam malam menjelang kudus itu, mereka dijemput oleh kereta ekspress menuju kutub untuk membuktikan praduga mereka. Klise? Tema seperti ini cukup lumrah dan kerap kali diangkat. Namun, yang jelas ada nuansa berbeda ketika dialihkan dalam bentuk animasi manusia riil seperti ini. Ketika berusaha menyelamatkan temannya yang nakal di kereta, menjatuhkan tiket emas, berkeliling bersama hantu, mencoba menyelamatkan penghuni, hingga pertemuan aslinya dengan Santa Clause. Semua hal bercampur indah dalam kebersamaan, ikhlas, rela berkorban, dan kepercayaan. Ketika ia hanya meminta sebuah lonceng sebagai hadiah pertama natal tahun ini, Santa cukup terkejut. tapi terasa bijak ketika menerangkan makna simbolis lonceng tersebut.

Sekilas, film ini tak lebih dari sekadar menghibur dengan beberapa amanat yang terkandung. Namun, di mata saya selain terpesona oleh keindahan animasi manusia dan kecantikan ekspresi serta kerlingan mata yang memukau, saya ragu-ragu apakah seorang anak akan cukup kritis menelaah maksud dari film ini. Okelah, Polar cukup lancar bertutur tentang Santa Clause dan kepercayaan, tapi tak langsung hal ini akan menggiring pemikiran anak pada satu hal, percaya akan sesuatu yang memang tidak ada.

Chicago



Hampir bisa dipastikan, film yang mengandalkan kekuatan gerak, drama, dan tari, plus musikal yang dipadukan dengan apik, apalagi berlatar kuat, pasti akan masuk penilaian nominasi Oscar. Bukan hanya terjadi pada Moulin Rouge yang sempat mencuri perhatian penikmat film dunia, melainkan juga Chicago, dan yang terbaru tahun 2007 ini, Dreamgirls.

Apakah ini berarti ada pergeseran selera juri maupun penonton dalam hal kualitas sebauh film? Tidak bisa dikatakan dan di-judge seperti itu. Namun, yang pasti memang film-film model seperti ini perlu skenario, penokohan, alur, musikalitas, plus jangan lupa tentang latar seting yang dramatis. Bisa berupa lokasi cerita, desain baju, atau hal-hal lain yang turut mendukung.

Chicago bercerita tentang kekelaman dunia pembunuhan, intrik pengacara, skandal, dan ambisi yang menjerat nurani. Menggondol 8 nominasi Oscar pada 2004 kemarin, film ini cukup lancar bertutur dengan dibuka adegan-adegan shot yang mendekripsikan suasana pada saat itu. Dan, semuanya menggunakan musik keren plus dukungan penari latar nan eksotis! Waw, menggoda mata.

Dibintangi dengan ciamik oleh bintang papan atas, Renee Zellwegger, Richard Gere, dan Catherine Zeta Jones melalui kedahsyatan oleh vokal, gerak, dan akting, tentunya, membuat film ini cukup bernas sebagai sebuah tontonan. Hm, sayang sekali walaupun Renee memang biasa bermain cantik, di sini aktingnya seperti kalah bersinar oleh Zeta Jones. Tak lupa, saya cukup terkesan dengan penampilan Queen Latifah. Wanita afro amerika ini sungguh fasih dengan gaya bicara hip hop dan rapp serta akting urakan yang senantiasa dilakonkannya. Enak sekali mengikuti akting wanita yang juga sebagai penyanyi ini. Lumayan menghibur.

Namun tak boleh dilupakan akting dingin Gere yang cukup meluluhkan wanita manapun. Seperti biasa, ia tampil cool, karismatik, dan flamboyan. Tapi, di mataku aktingnya terlihat standar. Yang bagus, justru Zeta Jones. Tatapan tajamnya sangat menggoda. Ia berhasil menggondol Oscar di sini sebagai Pemeran Pembantu Wanita Terbaik. Nice job for her!! Semoga di film-filmnya mendatang, ia berhasil mengeksplorasi lebih jauh kemampuan aktingnya. Jangan sampai terjebak dengan film drama ringan ala "No Reservations", dan sejenisnya.

Walk The Line


Sempat menolak ketika ditawari peran ini, membuat Reese Witherspoon akhirnya merasa tertantang juga. Dengan kerja keras dan semangatnya, jadilah sebuah piala Oscar berada di pangkuannya sebagai aktris terbaik. Sungguh mengherankan pula. Wanita yang kini menjanda, setelah beberapa bulan lalu berpisah dari suaminya yang juga aktor, Ryan Phillipe, mengatakan ini film tersulitnya. Bayangkan, lebih dari tiga bulan ia berlatih bernyanyi lagu-lagu bernuansa soul country ala June Carter dengan iringan band minimalis. Bahkan, ia juga berlatih semacam instrumen pengiring untuk suaranya. Hasilnya sungguh menakjubkan.


Oke, beradu akting dengan Joaquin Phoenix sebagai Johnny Cash, Witherspoon perlu waktu lama untuk memadukan harmonisasi suaranya agar terdengar enak. Actually, akting Phoenix di sini juga tak kalah lumayan, bahkan sesungguhnya film ini didominasi ceritanya. Sayang, ketika harus berpadu dengan Witherspoon ia nyaris tenggelam. Sungguh, di sini wanita ini begitu dalam menghayati peran dan gestur tubuhnya yang kuat dan menawan.

Film ini bercerita tentang pengalaman masa kecil Johnny Cash yang traumatis semenjak meninggalnya kakak kandungnya yang sangat disanjungnya. Ia tumbuh menjadi pria dewasa pecundang dan peragu. Ketika mulai membentuk band, tidak banyak orang yang mendukung, bahkan istrinya sendiri. Pelan tapi pasti, semua berubah. June Carter yang sudah tampil sebagai penyanyi tenar mulai mengenalnya. Dan, mereka kemudian terlibat dalam asmara yang panas nan membelenggu. Padahal keduanya sudah punya pasangan masing-masing.

Sayang, Johnny terlampau kebablasan. Ia tenggelam dalam minuman keras dan obat-obatan. June Carter yang berperan besar dalam hidupnya, dengan menyelamatkan, menyembuhkan luka hidupnya, menyemangati hingga pulih. Mereka bersatu setelah Johnny bercerai. Selanjutnya, duet mereka sebagai penyanyi menempatkan sebagai salah satu penyanyi country legendaris hingga abad ini. Overal, film ini berkisah tentang perjuangan hidup dan cinta.

Rindu Kami PadaMu


Hehe, sebenarnya terhitung telat nonton film ini. Jadi malu. Padahal dulu udah bilang kemana-mana betapa hebatnya film ini. Menggugah, haru, mengajak kita berkontemplasi, apakah kita menyadari bahwa hidup ini sesungguhnya indah dan penuh makna? Garin Nugroho, sang sutradara brilian ini, mengajak penonton menelusuri sisi kehidupan pada sebuah pasar dengan bermacam dinamika kehidupan dan intrik yang terjadi. Bahwa ada cinta, semangat, pengharapan, kesedihan, dan sebuah kekuatan doa.



Sesungguhnya film ini bertemakan sentral tentang tiga orang anak yang saling bersahabat. Ada Bimo, anak laki-laki yang nakalnya minta ampun, dia merindukan kehadiran sosok seorang ibu yang selalu menghibur jika dia sedih, yang tidak akan memarahi dia, yang mengeloni dia ketika tidur. Selama ini dia hanya bersama kakaknya yang mendidiknya begitu keras - atau belum tahu cara mendidik seorang anak kecil yang masih butuh kasih sayang. Kemudian, Putri, anak perempuan yang mengusir setiap orang yang sholat di sebelahnya. Dia beranggapan, tempat sajadah itu milik ibunya yang suatu saat nanti pasti akan kembali. Lalu ada lagi Rindu, seorang gadis kecil yang menderita gagap dan hobi menggambar. Alkisah, masjid, tempat mereka mengaji bersama belum memiliki kubah. Rindu selalu menggambar masjid yang tidak ada kubahnya. Anak ini trauma berat dengan tayangan televisi yang menampilkan berita penggusuran dan kekerasan.

Permasalahan ketiga anak ini didukung oleh keluarga mereka yang saling terkait. Ada pak guru sebagai sosok bijak, ibu (nova eliza) yang disukai Bimo sejak awal, Jaja sebagai ayah Putri, dan Neno sebagai ibu Rindu. Mereka masing-masing sangat mencintai ketiga anak ini secara berimbang, tidak mengekang, namun membebaskan. Dan, mereka tumbuh seiring pencarian identitas mereka sendiri. Natural. Tanpa pretensi, apalagi pamrih. Harapan, doa, dan semangat itu sambung menyambung menjadi satu.

Ide yang muncul dalam film ini melimpah dan semuanya tergarap apik. Telur yang dicap, sajadah, lukisan, plus lagu yang menyentuh. Akting para pemainnya termasuk keren, natural, dengan sentuhan emosional yang mantap. Dari sisi kualitas dan misi cerita, inilah film Islami terbaik di Indonesia hingga saat ini.

Eternal Sunshine of the Spotless Mind

Salah sebuah film yang mengandalkan kekuatan akting dan gaya penceritaan. Di sini, Jim Carrey berusaha lepas dari stereotype-nya yang biasa tampil karikatural, jenaka, dan guyon slapstick nan penuh warna. bersama dengan kate winslet (yang juga identik dengan kesan wanita anggun keibuan), ia tampil sebagai gadis muda penggoda dengan segala gairah dan energinya. cerita cukup lancar, mulus mengalir pada awal adegan.


Namun, beranjak sepuluh menit kemudian penonton dibuat mengernyit. bukan karena adegan yang janggal atau Jim Carrey yang lupa dengan kebiasaannya. Boleh jadi, ini tidak lazim. Tapi kalau dibilang, suer...akting Jim so natural dan mantap. Sebagai pria lajang yang bertemu dengan gadis liar yang cantik, Kate Winslet di sebuah kereta api, adegan mengalir cepat ketika jim masih bersiap berangkat, menulis diary, menunggu kereta api, sampai pada keinginannya bertemu wanita. Tiba-tiba diceritakan mereka akrab dan menjalin hubungan jauh. Kembali lagi, tiba-tiba Jim masih tarik ulur ingin menjalin kasih dengan kekalutannya akan masa lalu.


Editing film mengalir lincah dari slide ke slide, mengantarkan nuansa gelap, gelisah, bimbang, dan penuh ragu yang cukup terwakili oleh akting keduanya. Lalu cerita menapak step selanjutnya. dan jim ingin memutus hubungan dengan Kate. caranya? Ini yang tidak lazim. Jim ingin manghapus satu sel memori di otak yang menyimpan kenangan tentang Kate. Dia hanya ingin menghapus satu titik noda pada sel tersebut sehingga harapannya benar-benar mampu melupakan. sayangnya, setiap kali kita ingin menghapus, maka kenangan-kenangan yg lain akan ikut terhapus karena pada dasarnya neuron, dendrit dan sel akson akan saling berhubungan dan membawa bermiliar-miliar pesan yang cukup rumit dan kompleks. Ketidakteraturan pada satu sistem sel, akan mengacaukan kinerja yang lain seperti chaos. dan ini berarti ketidak seimbangan kontrol otak yang akan mendegradasi kinerja organ tubuh secara menyeluruh. Overal, film ini berpesan tentang keyakinan manusia.


Film ini juga dibintangi oleh favorit saya, Elijah Wood yang bermain sebagai penggoda Kate Winslet dan berlaku serupa Jim Carrey. Ada pula, Kirsten Dunst yang tak kalah bermain cemerlang sebagai gadis penggoda. Semua pemeran terlihat bermain maksimal dan cukup eksploratif. Hingga saat ini, film ini jadi favorit saya untuk kategori film psikologi terbaik.