Senin, 23 Juni 2008

Big Fish


Cerita satir tentang perjuangan hidup seorang ayah yang dicintai dimana-mana, kecuali anak lelakinya satu-satunya. Inilah tema film ini sebenarnya. Ironis memang, Bahkan, mereka tidak lagi berbicara setelah anaknya bekerja di daerah berbeda selama lebih dari 3 tahun. Kondisi mereka dipertemukan ketika sang ayah hendak menemui ajalnya alias sekarat, namun masih digambarkan cukup sehat. Semenjak kecil, sang anak dicekoki oleh cerita-cerita fantastis sang ayah yang berkaitan dengan petualangan sang ayah mengarungi daerah-daerah mistis dan bertemu dengan orang-orang aneh nan imajinatif. Sang anak selalu mendengar cerita-cerita yang baginya so impossible terjadi di dunia realitas.


Parahnya, ia tidak lagi membedakan cerita ayahnya, mana yang sesungguhnya mana yang bukan. Tak pelak, di satu sisi sang anak merindukan kebersahajaan sang ayah yang apa adanya tanpa perlu ditutupi maupun diberi bumbu cerita bombastis. Di sisi lainnya, sang ayah memang sudah merasa sepatutnya ia bercerita sesuai dengan jalan hidupnya selama ini. Hal yang paling aneh dalam ceritanya ialah tentang ikan besar alias big fish. Nah, akhir cerita ditutup dengan ending mengejutkan plus mengharukan.

Sepanjang film ini, penonton banyak disuguhi perjalanan hidup sang ayah di waktu mudanya yang penuh petualangan, mulai dari menyelamatkan penduduk kota dari raksasa, berteman dengan raksasa bekerja di sebuah sirkus demi bertemu calon istri tercintanya, serta masuk di sebuah daerah damai yang penuh dengan penduduk ramah. Benarkah semua cerita di atas? Entahlah, yang jelas dugaan sang anak ada benarnya juga.

Bahwa cerita sang ayah tercampur antara fiksi dan realitas. Atau ini sebenarnya sebuah film yang dikatakan Baudrillard sebagai hiperrealitas, dimana suatu kondisi maya yang dikondisikan sebagai realitas sehingga penonton merasa apa yang dijalani dan dialaminya sebagai suatu realitas tersendiri. Contoh paling nyata ada di dunia hiburan Disneyland. Pengunjung merasakan betul apa yang dialaminya suatu bentuk realitas yang bisa dirasakan secara fisik padahal di situ kondisinya tak lebih suatu permainan fantasi nan imajinatif. Ah, kok jadi melenceng yah…

Intinya, sang anak merasa sang ayah tidak lagi mampu membedakan kondisi yang dialaminya sehingga ia menjadi skeptis. Finally, sang ayah yang terserang stroke mendadak dan harus dilarikan ke rumah sakit meminta sang anak untuk bercerita tentang akhir hidupnya yang membahagiakan. Tiba pada satu titik ini, mendadak saya teringat pada ayah saya yang menderita sakit serupa, yakni stroke. Sungguh, tak tertahankan lagi air mata menetes deras meskipun mungkin bagi orang lain peristiwa ini tak membekas apapun. Bagi saya, inilah suatu momen yang sebenarnya, bahwa di sinilah sebenarnya titik point dari film ini. Berdasarkan penjelasan dr. Bennet, dokter yang merawat sang ayah, cerita yang terlalu berlebihan – terutama tentang kelahiran sang anak dan big fish – didasarkan pada sejarah kelahiran sang anak yang ternyata sang ayah tidak berada di tempat.

Lalu apa maksudnya? Cerita imajinatif ini dibuat dengan tujuan agar lebih menarik sehingga pendengar tidak merasa bosan. Maka, runtuhlah pertahanan sang anak yang mengira semua ini hanyalah ilusi belaka. Akhir cerita ditutup secara imajinatif. Kepergian sang ayah digambarkan dengan cara menjelma menjadi big fish dan diiringi keluarga plus seluruh teman terdekatnya yang pernah ditemuinya sepanjang hidupnya.

Tidak ada komentar: