Senin, 23 Juni 2008

Happy Feet

Menonton film ini seperti menyaksikan sebuah drama musikal lengkap yang diperankan bintang film brilian nan animatif. Sebuah film yang mendeskripsikan tak hanya sosok penguin yang lucu, namun juga memberikan amanat tentang keserakahan manusia yang tidak menjaga kelestarian lingkungan.Awalnya, saya tidak begitu tertarik menonton. Namun melihat resensi yang katanya nongkrong sebagai box office selama beberapa minggu membuatku mau tidak mau menyorotkan perhatian lebih pada film ini. Apalagi didukung oleh bintang-bintang papan atas sebagai pengisi suara, mulai dari Elijah Wood, Brittany Murphy, Robin Williams, Nicole Kidmann, Hugh Jackman, Hugo Weaving, dll membuatku makin mupeng untuk nonton. Sempat pula sebelum nonton, teman saya mencetus, "Pasti membosankan deh soalnya cuma satu hewan aja, gak kaya Madagascar atau The Wild yang variatif dan penuh warna." Ah, belum tahu saja kok mengomel.


Mari kita menonton. Dan selanjutnya saya terperangah. Awal film kita sudah disuguhi dengan asyiknya kutub, lucunya penguin yang berdesak-desakan, berbulu lembut, dan mereka berlagak sebagai penyanyi masa kini. Hm, suaranya, aransemen musik, gaya, maupun tampilan animasi menyatu dengan cozy. saya sungguh comfort dan seluruh jiwa raga terasa tertambat. Lucu, haru, unik campur menjadi satu.Berkisah tentang penguin kecil yang bernama Mumble artinya menggumam yang tak bisa menyanyi. Perlu diketahui, di komunitas penguin tersebut, perlu ahli menyanyi agar diterima dan disenangi kawan-kawannya. Sebagai identitas dan pengesahan jati diri. Padahal sang ortu 'gape' banget menyanyi dan berdansa, begitu pula cewek idamannya, gloria yang jadi pujaan anak-anak muda.

Mumble akhirnya melakukan pencarian jati diri. ia menemukan beberapa kawan yang mau menemaninya mengarungi masa-masa itu. Maka mengalirlah, mulai dari dikejar-kejar anjing laut yang ganas (eh, bukannya anjing, singa, atau gajah laut itu herbivora ya? kok aneh ya...), menemukan traktor laut, hingga mereka menyadari kehadiran sosok lain di luar komunitas mereka, yang disebut Mumble sebagai 'alien'. Setelah melakukan pencarian jauh, ia berhasil menemukan dermaga dan kompleks galangan kapal laut yang lengkap. setelah sempat pula dikejar paus pembunuh, ia bertekad menyusul kapal laut yang berangkat berlayar demi mengetahui siapa sebenarnya sosok yang dinamakan 'alien' itu?

Ketika sadar, baru tahu bahwa ia dikurung dalam sebuah kotak kaca bernama akuarium. Ups, ia berada di kebun binatang sekarang! Barulah ia tahu nama 'alien' itu! manusia! Walaupun ia berusaha menarik perhatian dengan mengentak-hentakkan kaki (happy feet) sesuai keahliannya, ia tetap gagal. Ups, lupa. Mumble tak bisa menyanyi, tapi ia jago sekali bikin tarian ala Tap Dance yang energik. Itulah yang membuatnya dikucilkan dan dianggap aneh, sebab tak lazim seekor penguin pintar menari seperti itu.



Singkat cerita, Mumble dikembalikan ke habitatnya. Namun sebelumnya diberi sensor sinyal agar diketahui secara jelas keberadaannya. Maka, setelah dikembalikan, komunitas pengiun pun geger. Tetua sana menuduh Mumble pengkhianat yang hendak mengacaukan kondisi comfort yang ada selama ini. tentu saja Mumble berkilah bahwa ia sama sekali tidak bermaksud buruk. Tujuannya dia ke sini ialah untuk memberi tahu umat manusia tentang keberadaan pengiun yang harus dilestarikan, biar manusia tahu bahwa hewan juga perlu dijaga keberadaannya. Bukannya semena-mena menjaring ikan hingga menimbulkan 'krisis pangan' dalam komunitas pinguin.

Sungguh banyak kemudian terjadi perdebatan di sana-sani. Di gedung PBB, pemikir, ahli lingkungan, aktivis, WWF semuanya bersatu menggelorakan semangat kelestarian lingkungan dan hewan. Sungguh, mengharukan perjuangan Mumble. Pada akhirnya, seluruh keluarga menerimanya dengan baik.Secara keseluruhan film ini cukup lengkap. porsi yang disuguhkan bukan hanya nasi pecel, tapi juga ada gado-gado. Menampilkan kehidupan monogami pinguin yang setia pada satu pasangan, perjuangan, cinta. Kerennya, film ini meraih Best Animated Movie versi Academy Award dua tahun lampau. Worthed banget kan? One of the best animated movie ever (in my opinion).

The Painted Veil

Film ini mengisahkan ironi tentang kehidupan suami istri yang banyak terjadi dalam kehidupan modern saat ini. Sebuah intrik ketidakcocokan yang bisa berujung pada banyak hal, seperti saling diam, perceraian, atau bahkan pembunuhan. Jalan apakah yang mereka pilih dan kenapa mereka memilihnya? Naomi Watts (maaf lupa nama di filmnya) menikah dengan Edward Norton (ini juga lupa, hehe….) bukan atas dasar cinta, melainkan karena hendak pergi dari ibunya di London. Seusai menikah, mereka langsung tinggal di daerah Shanghai pedalaman karena Edward bekerja sebagai ahli mikrobiologi di suatu instansi pemerintahan di sana.


Sebagai istri setia, Naomi manut-manut wae tinggal dimanapun, bahkan di tempat yang agak kumuh.Anehnya, semakin hari hubungan di antara mereka sebagai suami istri semakin aneh dan aneh. Edward tidak hendak berbicara jika tidak bertanya, sementara Naomi tidak tahan didiamkan, mencari keasyikannya sendiri, tapi tetap tidak bisa. Ia butuh perhatian, kasih sayang, hiburan, dan permainan. Ia belum mendapatkannya dari suaminya. Tak pelak, ketika ada seorang lelaki yang menawarinya, ia terjatuh dalam perselingkuhan yang membelenggu. Sang suami yang tahu pura-pura tidak tahu menahu.

Dalam suatu pertengkaran dahsyat, akhirnya mereka bersepakat untuk pergi ke suatu wilayah epidemi kolera dengan tujuan selain membantu para korban juga menjauhkan Naomi dari selingkuhannya. Tapi sama saja, kehidupan pernikahan mereka tetap hambar. Bahkan makin menjadi-jadi. Sebuah hubungan yang tiada artinya. Dalam malam yang menentukan mereka berusaha mendobrak pintu penyekat selama ini. Kenapa sepertinya susah dipahami, padahal Naomi hanya seorang wanita biasa yang tidak hendak menjadi hebat. Begitu pula, Edward yang selama ini tidak mau mengerti hal sepele yang menjadi keinginan wanita.

Lambat laun, hubungan mereka makin akrab dan sepaham. Puncaknya, Naomi hamil diiringi dengan kematian Edward yang ternyata terjangkit kolera. Film ini memberikan banyak pelajaran terkait dengan kekuatan hati, cinta, dan kasih sayang serta bagaimana menjalin dan mempertahankan sebuah hubungan. Sebagai suami istri hubungan memang lebih rentan, tapi bagaimana sikap saling mengerti, perhatian, dan seiring sejalan akan mampu menyatukan keduanya dalam payung rumah tangga.

Film ini juga dihiasi dengan visualisasi pemandangan menakjubkan, berlatar pegunungan hijau, sungai berkabut nan eksotik. Sesekali bahkan mengingatkan kita pada pedalaman Indonesia dengan segala atribut kelokalannya yang khas. Penduduk berkulit coklat, bertubuh sedang dan bermata agak sipit. Imaji saya langsung terbayang pada daerah Vietnam. Tak heran juga, setting syuting juga mengambil lokasi di daerah tersebut. Ditambah dengan sedikit bahasa lokal yang tidak familiar. Toh, sebagai film drama, ini sudah termasuk kategori lumayan. Akting Naomi Watts dan Edward Norton cukup padu, natural, sekaligus menggugah emosi. Tak begitu mengecewakan.

Big Fish


Cerita satir tentang perjuangan hidup seorang ayah yang dicintai dimana-mana, kecuali anak lelakinya satu-satunya. Inilah tema film ini sebenarnya. Ironis memang, Bahkan, mereka tidak lagi berbicara setelah anaknya bekerja di daerah berbeda selama lebih dari 3 tahun. Kondisi mereka dipertemukan ketika sang ayah hendak menemui ajalnya alias sekarat, namun masih digambarkan cukup sehat. Semenjak kecil, sang anak dicekoki oleh cerita-cerita fantastis sang ayah yang berkaitan dengan petualangan sang ayah mengarungi daerah-daerah mistis dan bertemu dengan orang-orang aneh nan imajinatif. Sang anak selalu mendengar cerita-cerita yang baginya so impossible terjadi di dunia realitas.


Parahnya, ia tidak lagi membedakan cerita ayahnya, mana yang sesungguhnya mana yang bukan. Tak pelak, di satu sisi sang anak merindukan kebersahajaan sang ayah yang apa adanya tanpa perlu ditutupi maupun diberi bumbu cerita bombastis. Di sisi lainnya, sang ayah memang sudah merasa sepatutnya ia bercerita sesuai dengan jalan hidupnya selama ini. Hal yang paling aneh dalam ceritanya ialah tentang ikan besar alias big fish. Nah, akhir cerita ditutup dengan ending mengejutkan plus mengharukan.

Sepanjang film ini, penonton banyak disuguhi perjalanan hidup sang ayah di waktu mudanya yang penuh petualangan, mulai dari menyelamatkan penduduk kota dari raksasa, berteman dengan raksasa bekerja di sebuah sirkus demi bertemu calon istri tercintanya, serta masuk di sebuah daerah damai yang penuh dengan penduduk ramah. Benarkah semua cerita di atas? Entahlah, yang jelas dugaan sang anak ada benarnya juga.

Bahwa cerita sang ayah tercampur antara fiksi dan realitas. Atau ini sebenarnya sebuah film yang dikatakan Baudrillard sebagai hiperrealitas, dimana suatu kondisi maya yang dikondisikan sebagai realitas sehingga penonton merasa apa yang dijalani dan dialaminya sebagai suatu realitas tersendiri. Contoh paling nyata ada di dunia hiburan Disneyland. Pengunjung merasakan betul apa yang dialaminya suatu bentuk realitas yang bisa dirasakan secara fisik padahal di situ kondisinya tak lebih suatu permainan fantasi nan imajinatif. Ah, kok jadi melenceng yah…

Intinya, sang anak merasa sang ayah tidak lagi mampu membedakan kondisi yang dialaminya sehingga ia menjadi skeptis. Finally, sang ayah yang terserang stroke mendadak dan harus dilarikan ke rumah sakit meminta sang anak untuk bercerita tentang akhir hidupnya yang membahagiakan. Tiba pada satu titik ini, mendadak saya teringat pada ayah saya yang menderita sakit serupa, yakni stroke. Sungguh, tak tertahankan lagi air mata menetes deras meskipun mungkin bagi orang lain peristiwa ini tak membekas apapun. Bagi saya, inilah suatu momen yang sebenarnya, bahwa di sinilah sebenarnya titik point dari film ini. Berdasarkan penjelasan dr. Bennet, dokter yang merawat sang ayah, cerita yang terlalu berlebihan – terutama tentang kelahiran sang anak dan big fish – didasarkan pada sejarah kelahiran sang anak yang ternyata sang ayah tidak berada di tempat.

Lalu apa maksudnya? Cerita imajinatif ini dibuat dengan tujuan agar lebih menarik sehingga pendengar tidak merasa bosan. Maka, runtuhlah pertahanan sang anak yang mengira semua ini hanyalah ilusi belaka. Akhir cerita ditutup secara imajinatif. Kepergian sang ayah digambarkan dengan cara menjelma menjadi big fish dan diiringi keluarga plus seluruh teman terdekatnya yang pernah ditemuinya sepanjang hidupnya.

The Queen

Sebuah film tentang kerajaan monarki terbesar di bumi ini, yakni Inggris yang dideskripsikan melalui sudut pandang Ratu Elizabeth II. Setting tahun dibuat sekitar tahun 1997, pasca pemilihan Tony Blair sebagai perdana menteri serta tragedi meininggalnya People’s Princess, Lady Diana yang menghebohkan. Melalui film ini, kita akan semakin mengerti pergulatan pikiran sang ratu dalam menghadapi keluarga, perdana menteri sendiri, dan khususnya media publik. Kegelisahannya dalam bertindak serta sentuhan humanistiknya yang menawan menjadikan sang ratu tak ubahnya sebagaimana manusia biasa yang rapuh, rentan, dan sensitif.


Sang ratu yang beraliran konservatif tidak terlalu suka menonjol apalagi di-blow up pada media seperti halnya Lady Diana. Sudah menjadi rahasia umum pula jika ternyata sang ratu tidak terlalu menyukai Lady Diana yang digambarkan glamour, gila perhatian, tapi juga memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi sehingga dicintai semua orang. Sang ratu berada pada posisi yang sulit pasca kematian People’s Princess ini. Media menuntut agar sang ratu lebih terbuka, namun tentu saja ia tidak suka dibantah apalagi didikte.

Hal yang dikritisi habis-habisan oleh media seperti halnya, sikap keluarga kerajaan yang tidak memberikan pernyataan seputar kematian Lady Diana, tuntutan agar keluarga kerajaan segera pindah dari istana Bristol ke Buckhingham di London, serta pengibaran bendera setengah tiang. Seiring tekanan yang bertubi-tubi dan meningkat dari hari ke hari, akhirnya sang ratu berkenan juga memenuhi seluruh tuntutan itu. Bukan apa-apa, semua itu hanya demi memenuhi keinginan rakyatnya.

Yup, sebuah film yang dikombinasikan dokumenter ini terkesan riil. Sayang sekali, kehadiran pemeran yang lain seperti tempelan belaka. Pangeran Charles kurang memberikan greget yang nyata, anehnya tampangnya jauh sekali dengan Charles yang asli. Begitu pula Pangeran Philip, suami sang ratu. Sementara ibu suri malah terkesan terlalu gemuk. O ya, pemeran Tony Blair bermain lumayan cemerlang. Di akhir film, ia dan sang ratu kembali berdiskusi tentang kondisi aktual negeri. Pesan yang ditangkap dari film ini ialah ketakutan sang ratu akan penyesuaian kerajaan pada modernisasi serta sikap yang harus ditempuhnya terkait dengan media dan publik.

Bagaimanapun kegelisahan ratu yang gundah antara menjaga keluarganya maupun rakyat Inggris sebagai sebuah kerajaan monarki terhadap benturan media, cukup terakomodasi dengan sebaik-baiknya. Akting brilian Hellen Mirren sanggup mengejawantah dalam sosok Ratu Elizabeth II nyaris tanpa cacat. Kegundahan, gerak-gerik khas rata, hingga pergulatan pemikirannya terdeskripsikan sesuai kondisi riil. Tak pelak, lewat film inilah ia berhasil menyabet piala Oscar sebagai aktris terbaik. Di usia senja, Hellen Mirren makin matang dalam kebersahajaan dan kualitas akting mumpuni.

Bridge To Terabithia

Bridge to Terabithia adalah film karya Walt Disney Pictures yang sebenarnya dikhususkan buat anak-anak. Namun, sebagian filmnya disisipkan kisah dan pesan filosofis tersendiri tanpa nada menggurui dan enak juga ditonton untuk semua kalangan. Alkisah, Jess anak lelaki satu-satunya dalam sebuah keluarga. Ia digambarkan pendiam, selalu diganggu teman-temannya, dimarahi orang tuanya, sedikit pemarah, namun suka menggambar. Suatu hari, sekolah mereka kedatangan murid cantik bernama Leslie Burke yang cerdas, atraktif, serba bisa, dan imajinatif.

Mereka berdua berkawan akrab terlebih karena Leslie ternyata menjadi tetangga baru Jess. Berpetualang di daerah hutan, mereka menemukan dunianya sendiri dalam bermain, mencipta karakter-karakter tertentu, dan menamakan wilayah mereka sebagai Terabithia. Inti cerita ini sebenarnya simpel, namun dideskripsikan panjang dan bertele-tele. Pada menit awal, saya belum mampu menduga akhir cerita ini. Baru ketika menginjak akhir, saya tahu ada beberapa hal yang bisa dipetik, antara lain tentang persahabatan dan pesan “Janganlah takut untuk mencipta imajinasimu dengan membiarkan pikiranmu terbuka”.

Menonton film ini, ingatan saya melambung pada masa kecil dimana juga memiliki teman-teman sepermainan yang juga mencipta visual imajinatif yang terkadang berlebihan. Maklum, sebagai penyuka komik, cerita anak-anak, dan novel, imajinasi saya bahkan tiba pada satu titik yang tidak terduga sebelumnya. Anehnya, seringkali imajinasi saya gunakan dalam mencipta hubungan-hubungan parallel antara komunikasi dengan kawan, guru, menghafal pelajaran, bahkan melakukan aktivitas lainnya. Kok jadi ngomongin diri sendiri?

Aha, Leslie tampil begitu menggemaskan, mengagumkan, dan mencipta sensasi tersendiri. Memandangnya, mendadak saya ingat pada wajah Keira Knightley sewaktu kecilnya, mirip sekali, bahkan juga sifat-sifatnya. Apa mereka bersaudara? I dunno well, sayang sekali kelincahannya ditutup secara dramatis, tragis sekaligus ironis. Dia meninggal dalam permainan, sementara Jess pergi ke museum. Anehnya, saya juga merasakan kehilangannya sebagai teman secara mendadak. Entah, sensasi apa ini. Apakah ini isyarat bahwa saya juga ditinggal pergi?

Walah-walah, sebuah persahabatan yang indah akhirnya ditutup secara mengenaskan. Bayangan saya, mungkin sekali film ini ingin menegaskan, khususnya pada anak-anak bahwa kematian sahabat bukanlah kesalahan kita sendiri. Melainkan, sudah seharusnya ia pergi. Kepergian mereka merupakan suatu takdir yang harus diterima. Dan, meskipun mereka telah tiada namun kenangan-kenangannya tidak akan pupus ditelan waktu.

Oke, terkait dengan nilai filosofis, ada beberapa yang terlontar dari Leslie, seperti biarkan pikiranmu terbuka. Namun, ada juga yang terkesan dangkal. Seperti halnya sewaktu mereka berbincang tentang alkitab, yesus, dan neraka. Penolakan Leslie akan nilai alkitab dan neraka sebenarnya bisa memancing diskusi lebih lanjut. Namun, perbincangan ini terputus begitu saja tanpa ada kelanjutan. Lebih baik jika ditiadakan saja seharusnya.

Minggu, 22 Juni 2008

Eragon

Film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Christopher Paolini yang terjual lebih dari 30 juta eksemplar dan dialihbahasakan ke 32 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Novel keduanya berjudul Eldest yang juga sama larisnya, direncanakan akan difilmkan menyusul tahun depan.


Berkisah tentang bocah berusia 16 tahun, Eragon yang menemukan sebutir telur berwarna safir, biru berkilau. Awalnya ia mengira telur itu sebuah batu jimat milik Raja Galbatorix, hingga tanpa pikir panjang ia hendak menjual pada seorang penjual daging, yang menolak karena emoh berurusan dengan raja dan antek-anteknya.

Suatu malam, telur itu menetas dan muncullah seekor naga mungil yang berwarna safir. Eragon kaget, terlebih setelah didengarnya kisah dari sesepuh desa bernama Brom (nantinya akan menjadi pendamping perjalanannya menemui Varden) tentang legenda penunggang naga (dragon riders) yang pemberani dan penuh kekuatan.

Semakin lama, Eragon mengerti tentang posisinya sebagai sosok yang terpilih. Apalagi setelah pamannya meninggal oleh orang-orang suruhan Raja Galbatorix, penguasa Algaesia yang tidak menginginkan munculnya penunggang naga lagi. Bersama Saphira dan Brom ia memulai petualangannya menuju istana raja, melalui ngarai, padang pasir, lembah hijau, pegunungan es, hingga sungai. Di tengah perjalanan ia banyak menemui rintangan, mulai dari Urgal hingga kemampuannya yang memang belum seberapa.

Karena keras kepala, Eragon yang sempat bermimpi Arya ditawan oleh penyihir, akhirnya mengubah perjalanan. Ia membebaskan putri dari tawanan musuh dan melarikannya ke Varden untuk mencari bantuan.

Singkat cerita, penyihir yang tidak terima kemudian mengepung wilayah Varden dan tumpahlah pertarungan sengit. Di sini, Saphira nyaris tewas oleh monster kelelawar ilusi buatan penyihir. Sementara Eragon terkapar kelelahan. Ending cerita ditutup dengan perjalanan Eragon bersama Saphira serta Arya yang hendak melanjutkan petualangannya kembali. Menemui Raja Galbatorix.



Secara keseluruhan, film ini kurang panjang durasinya. Banyak adegan yang dipotong, dalam artian bukannya tidak lolos gunting sensor, namun tidak klop dengan novelnya. Mulai dari adegan awal yang menggambarkan sengitnya pertempuran penyihir Raja Galbatorix dengan Arya, peri yang memperebutkan telur Saphira. Di novel, Eragon menemukan telur diceritakan pertama, baru kemudian dikisahkan flashback dulunya ada sebuah pertempuran. Selanjutnya, tentang mendadak tumbuh dewasanya Saphira menjadi naga. Padahal di novel juga dikisahkan penyesuaian diri Eragon yang sungguh sulit bersama Saphira, berburu rusa, berlatih menunggang hingga mengucapkan mantra berbahasa Latin. Sementara petulangan Eragon benar-benar terasa ketika betapa panjangnya ia menempuh semua perjalanan itu. Di film, terasa sebagai tempelan belaka. Betapa cepatnya, ia tiba di tempat tujuan. Begitu pula Brom yang hanya berkendara kuda bisa dengan cepat menyusul Eragon yang menunggang Saphira.

Aduh, selama menonton film, saya juga belum begitu menemukan greget yang nyata. Terasa hambar dan biasa-biasa saja. Bukannya saya meremehkan kemampuan sutradara yang cukup brilian menuangkan sinema dengan teknologi CGI semacam Harry Potter dan Lord Of The Rings. sayangnya, film ini hanya detail pada Saphira semata. Simak, adegan Eragon menunggang naga yang selalu terlihat bagus. Bagaimana Saphira mengembangkan sayapnya, meliuk-liuk menembus belantara, menukik terjun ke atas ngarai, menyusuri sungai, serta menembus awan. Sisiknya yang berkilau dan gestur tubuhnya sungguh gemulai, anggun, berkesan feminin (disuarakan oleh Rachel Weisz). Sementara alur dan cerita kurang begitu diperhatikan. Siapa yang tidak heran ketika naga sudah mengenakan pelana. Darimana? Atau monster-monster yang kurang menakutkan bahkan 'cemen'.


Overal, film ini tak lebih sebagai hiburan. Dan, memang hanya itu tujuannya.

Mengejar Mas-Mas


Mendengar judulnya, lumayan aneh, sama sekali tidak lazim. Ya, biasalah khas film-film Rudi Sujarwo. Baca reviewnya di koran, cukup bikin penasaran. Terutama karena ada Dina Olivia. Biasalah, akting cewek satu ini keren abis dan cihuy punya. Karena penasaran, jadilah gw menonton, padahal duit pas-pasan. Selama ini gw emang jarang ke bioskop dua kali seminggu.


Langsung aja. Film ini dibuka dengan adegan yang menggambarkan keakraban hubungan ayah dan putrinya, Shanaz (Poppy Shovia) lari-lari pagi. O please, dari sini ternyata sudah ada yang mengganggu kenikmatan menonton. Apa itu? pengambilan gambar yang bergoyang-goyang. Maklum, ini salah satu karaktersitik Rudi yang gemar menggunakan teknik hand-held camera.. Awalnya, lumayan realistis, tapi makin lama malah bikin spoiler abis. Mengganggu. Alur cukup klise. Bentrok antara anak dengan ibunya yang ingin kawin dengan lelaki lain,padahal belum genap 8 bulan suaminya meninggal. Maka, Shanaz kabur dan hinggap di Jogja, mengejar pacarnya yang lagi panjat gunung.

Sayang, pacarnya masih lama di atas gunung. Dia kemudian tersesat, kelaparan, dan dikejar preman. Inilah awal perkenalannya dengan Ningsih (Dina Olivia), pelacur yang dihargai Rp 50 ribu sekali kencan. Duh, dengan wajah seelok itu, dia bisa pasang tarif dua puluh kali lebih mahal.

Maka, mereka 'bersaudara' sejenak. Lalu, muncul Parno (Dwi Sasono), pengamen kenalan Ningsih yang sempat dijadikan pacar hanya empat jam saja. "Jam kelima saya putuskan karena tahu dia pelacur," katanya curhat pada Shanaz. Oke, peran Parno di sini sebagai titik tarik ulur antara Ningsih dengan Shanaz. Cukup menarik adegan ketika Ningsih ternyata cemburu sewaktu tahu Shanaz pacaran. Alhasil, Parno kudu kecewa ketika jadian sama Shanaz tepat di saat dia mau balik ke Jakarta dijemput pacarnya. Dan, setitik cinta Ningsih ternyata masih ada.



Film ini sebenarnya bercerita tentang tragedi cinta dan kepiluan seorang pelacur, meski hanya tempelan belaka. Akting Dina Olivia memang mantap apalagi sewaktu dia diusir dari kosnya karena ketahuan pelacur (sebelumnya dia mengaku dosen). Beramai-rama warga desa memukuli dan mengusirnya dari desa. Adegan ini benar-benar mengharukan. Dina mempertontonkan kepiawaiannya berakting dengan tetap tegar dan bernyali. Poppy Sovia juga cukup mampu mengimbangi akting Dina yang brilian. Malah Dwi Sasono yang biasanya tampil natural, di sini seperti kehilangan auranya bersanding dua cewek cakep. Weleh-weleh. Apa dia grogi ya? Bagaimanapun, worthed banget nonton film Indonesia yang ini!! Apalagi Dina juga dapat piala Citra. Gak sabar menunggu filmnya mendatang..Hm, such a nice movie!!!